Batik Alami Berbahan Ulat Liar

kokon atau kepompong ulat sutra liar yang banyak bertebaran di kawasan pedesaan di Yogyakarta sering disia-siakan masyarakat. Paling-paling ulatnya dimakan manusia, dan kupunya dijadikan makanan ayam.

Tapi kini tidak lagi. Kepompong-kepompong itu telah bersalin rupa menjadi benang dan kain berharga hingga jutaan rupiah. Semuanya berkat kreativitas 41 orang perajin di perusahaan kerajinan tangan PT Yarsilk Gora Mahottama.

Pemimpin Yarsilk, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, menjelaskan bahwa perusahaan ini bergiat di usaha pengolahan kokon, pembuatan benang, serta pengerjaan aneka kerajinan. "Kepompong sutra liar itu jenis yang spesial," kata putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X ini kepada Tempo di Yogyakarta, Rabu lalu.

Kepompong sutra liar yang dimaksud Pembayun adalah jenis Attacus dan Criculla. Berbeda dengan kepompong ulat sutra budidaya yang hidup di pohon murbei, ulat sutra liar hidup alami di pohon-pohon inangnya, seperti mahoni, jambu mete, sirsak, dan alpukat.

Keunggulan kepompong ulat sutra liar itu disebutkan pula dalam hasil penelitian guru besar Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, J. Situmorang, pada 1995. Ia menemukan warna sutra liar lebih natural dan tidak memerlukan pewarnaan lagi.

Warna asli Criculla adalah kuning emas, dan Attacus cokelat. Warna-warna ini bergantung pada masing-masing pohon inangnya. Keunggulan lainnya, jika dibuat pakaian, tidak menimbulkan gatal, tidak panas, mampu menyerap keringat, serta lebih lembut.

Temuan itulah yang memicu Pembayun merintis usaha lewat pendirian Yarsilk, yang berlokasi di Jalan Ahmad Dahlan, Yogyakarta, pada 1998 dengan modal awal Rp 500 juta.

Kegiatan produksi Yarsilk dimulai pada 1 Juni 1999 dengan membuat kebun percontohan hingga mempunyai lahan sendiri pada 2002 di Desa Karangtengah, Bantul. Letaknya di sisi selatan Yogyakarta seluas 55 hektare, yang diolah warga setempat bersama 100 keluarga transmigran.

Lahan tersebut dikelola Yayasan Royal Silk, yang berkolaborasi dengan Yarsilk. Di Yayasan Royal, Pembayun menjadi pembina, sedangkan ketuanya adalah Fitriana Kuroda, yang sekaligus menjadi Direktur Pemasaran Yarsilk.

Dalam sehari Yarsilk bisa membeli kepompong dari warga sebanyak 3 kilogram atau sekitar 7.500 buah kepompong. Satu kilogram benang Attacus dihargai Rp 1,5 juta. Adapun 1 kilogram benang Criculla dibanderol Rp 1,7 juta. "Tujuan kami adalah ekspor ke Jepang," tutur Pembayun.

Untuk mencapai tujuan itu, perajin Yarsilk dibimbing tim ahli dari Jepang mulai dari riset hingga pembuatan benang. "Kami menganggap, kalau sudah bisa diterima di Jepang, di negara lain pasti lebih mudah," ucapnya. Kini Yarsilk telah mempunyai ruang pamer di Tokyo, Jepang.

Dalam sebulan, sekitar 20-23 kilogram benang sutra liar telah dikirim ke Jepang. Sampai di sana, barulah benang tersebut diolah menjadi kain untuk dibuat kimono. "Menurut orang Jepang, kualitas kimono yang baik adalah yang keawetannya bisa sampai 50 tahun," ucapnya.

Kain yang ditenun dari benang sutra liar bisa berwujud kain dengan motif batik yang langsung dari alatnya. Itu berkat keunggulan kepompong sutra liar yang selain menghasilkan warna kemilau, mempunyai gradasi garis yang unik.

Dia pun mantap menjadikan Jepang sebagai pangsa pasar utamanya. Alasannya, baru negara itu yang bisa mengapresiasi produk-produk mereka. "Tidak cuma untuk dikenakan, orang Jepang juga mengapresiasi produknya dari sisi seni," tutur Pembayun.

Konsumen di Yogyakarta maupun Indonesia belum banyak. Meski demikian, Yarsilk tetap menjual benang yang dibutuhkan konsumen dalam negeri untuk membuat stola dan aneka kerajinan dari benang sutra liar.

Perusahaan Pembayun mampu membuat benang sebanyak 25 kilogram dalam sebulan. Satu kilogram kokon bisa menghasilkan benang sekitar 10 meter. Sisa benang ekspor digunakannya membuat produk yang dipasarkan sendiri di Indonesia, seperti stola, kain, dan aneka kerajinan tangan.

Pembayun menjelaskan, ada dua alasan yang menggerakkan Yarsilk memilih usaha pemintalan sutra liar. Pertama, mereka ingin memanfaatkan barang berharga yang selama ini terabaikan, sekaligus membuka peluang bagi petani untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Kedua, produknya ramah lingkungan. Artinya, tidak satu pun hewan serangga yang dikorbankan. Seluruh proses berlangsung secara alamiah. Yakni, setelah kepompong itu menjadi kupu-kupu, maka pelindungnya (sutranya) akan jatuh.

Produk-produk yang dihasilkan dari bahan baku kepompong ulat sutra pun cukup banyak, sebagaimana yang dipajang di ruang pamer Ahmad Dahlan. Di dalam bangunan kuno yang dulu dipakai penjajah Belanda sebagai balai kota itu terdapat aneka kerajinan tangan dengan bermacam bentuk.

Misalnya tas, buku, sampul payung, penyekat ruangan, kain, kimono, obi atau pengikat pinggang pada kimono, dan baju. Harga kerajinan tangan berkisar Rp 15 ribu sampai Rp 300 ribu. Aneka tas Rp 60-380 ribu. Sedangkan kain bisa mencapai Rp 500 ribu per meter.

Pembuatan produk Yarsilk saat ini masih bersifat non-mass production, sehingga kapasitas produknya pun terbatas. "Karena kami ingin kualitas yang baik, bukan pada banyaknya produk," kata Pembayun.

Kendala yang dihadapi Yarsilk adalah mahalnya harga jual produk karena proses produksinya yang sangat panjang dan rumit. Ihwal itu pula yang membuat minimnya minat konsumen Indonesia.

Tantangan lain, kedua jenis ulat sutra itu hanya menghasilkan kokon selama musim penghujan. Akibatnya, Yarsilk selalu harus menimbun berton-ton bahan baku pada musim penghujan untuk mencukupi kebutuhan produksi selama sembilan bulan. "Jangan khawatir, benang sutra bisa tahan hingga puluhan tahun," ujarnya.

Pito Agustin Rudiana

Tidak ada komentar: