Batik, Warisan Budaya Nasional Menuju "Internasional"

Kain-kain tradisional Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan kompleks. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya corak yang berbeda maupun serupa. Perkembangan corak tersebut juga dipengaruhi letak geografis, sejarah lokal, dan unsur budaya lainnya.

Batik selama ini dianggap sesuatu yang ada dengan sendirinya dan merupakan bagian dari keseharian masyarakat. Hanya saja, tak ada upaya untuk mengembangkan batik sebagai budaya nasional.

Dari aspek kultural, batik adalah seni tingkat tinggi. Batik tak sekadar kain yang ditulis dengan menggunakan malam (cairan lilin). Pola-pola yang ada di batik, lanjutnya, memiliki filosofi yang sangat erat dengan budaya tiap masyarakat.

Perkembangan batik juga bisa dilihat dari aspek diplomatiknya. Selama ini batik selalu digunakan oleh Presiden saat menerima tamu-tamu kenegaraan. Bahkan, jika Indonesia menghadiri even internasional, para perwakilannya selalu menggunakan batik sebagai ciri khas. Kain ini juga sudah "diterima" oleh pemimpin dunia karena sering dijadikan sovenir.

Tak hanya presiden, menteri dan seluruh instasi baik swasta maupun pemerintahan selalu menggunakan batik untuk acara resmi. Begitu juga dengan siswa sekolah, pada hari tententu, batik digunakan sebagai seragam.

Dari segi bisnis, industri batik sebenarnya cukup mudah dilakukan karena pasarnya tersebar dari tingkat lokal, regional, antarpulau, hingga internasional. Selain harganya yang murah, kreasi produk batik tak sebatas pakaian, namun juga asesoris interior. Ya batik menjadi budaya bangsa yang bisa diandalkan Indonesia sebagai sumber pendapatn devisa yang diandalkan. Akankah batik bisa setara dengan jas yang bisa dipakai oleh seluruh bangsa di dunia?

Evolution Of Batik

Goresan canting pada kain putih ini dapat menghasilkan karya yang sangat tinggi, yang lebih dikenal sebagai batik tulis. Dalam perjalanan panjangnya, batik mengalami evolusi yang dinamis dan mengesankan. Tentunya, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi produsen maupun para pelaku fashion.

Seiring berjalannya waktu, batik semakin banyak diproduksi dan diminati hingga ke berbagai pelosok negara. Tak salah, pabila desainer yang sudah berpengalaman selama lebih dari 32 tahun dengan bahan batik ini, menggelar acara "Evolution of Batik" bertempat di Ritz Carlton, Pacific Place Jakarta.

Nuansa evolusi pada rancangannya kali ini semakin menonjol dengan pemilihan batik Betawi, batik Madura dan batik Papua. Beragam busana yang dihadirkan, begitu mempesona dan mengesankan. Baik dalam potongan klasik maupun glamour, hingga sentuhan kasual yang menonjolkan batik sebagai busana yang semakin chic dan trendy.

Corak dan warna batik sendiri, terus berevolusi sesuai dengan perkembangan jaman. Mulanya, motif dan corak batik hanya terbatas pada gambar binatang dan tanaman. Namun kini, seiring dengan penyebaran batik yang kian meluas, baik corak maupun warna, batik terus berkembang menyesuaikan karakter dan filosofi budaya setempat.

Keindahan batik yang identik dengan pakaian ternyata terlihat eksotik jika diaplikasikan pada alas kaki, seperti sandal dan sepatu. Perpaduan motif tradisional dengan teknik tambal hingga menjadi batik kontemporer yang unik ini ternyata banyak juga peminatnya. Seperti aplikasi batik pada alas kaki yang telah diprodiksi Hasan Batik Bandung sejak 2006 silam.

Proses pembuatannya yang rumit dan memakan waktu yang cukup lama membuat harganya relatif tidak murah,
sekitar 250 ribu hingga 500 ribu rupiah. Fitriani Lestari mengungkapkan untuk menyelesaikan kain batik ukuran satu meter persegi saja ia membutuhkan waktu sekitar satu bulan, belum lagi proses pembuatan alas kakinya. Sehingga wajar jika nilai jualnya tinggi dan dinikmati oleh kalangan tertentu yang kebanyakan remaja,

Alas kaki berbagai macam model ini dibuat untuk dipakai pria dan wanita dengan variasi yang menarik dan corak warna yang menonjol sebagai ciri khas batik kontemporer. Selain alas kaki, Hasan Batik Bandung yang turut sebagai salah satu peserta pameran Evolution of Batik, di Jakarta memproduksi tas dan yang lainnya. Serta produk utamanya ialah batik interior.

Batik dan Harajuku Akan Bertemu di Tokyo

Peringatan 50 tahun hubungan Indonesia-Jepang tidak hanya ramai digelar di Indonesia khususnya Jakarta, namun juga di Jepang. Komunitas Indonesia di Jepang (ICJ) akan mempersembahkan JAVARIZM, acara yang menyuguhkan pertautan budaya Indonesia-Jepang dan mempererat hubungan kedua negara Sabtu (29/11) besok di Fifty Seven, Roppongi, Tokyo.

Salah satu kombinasi budaya yang akan dipamerkan dalam ajang tersebut adalah perpaduan batik dan budaya Harajuku. Siapa tidak kenal fashion style ala Harajuku? Distrik Harajuku yang terletak di Tokyo, Jepang memang terkenal sebagai tempat "nongkrong" orang-orang yang stylish dan fashionable. Gaya Harajuku sendiri merupakan semacam street fashion atau fashion jalanan yang tidak mengenal peraturan.

Nah, apa jadinya bila gaya ala Harajuku yang ngepop digabungkan dengan batik tradisional Indonesia? Hasilnya adalah "Harjutik" atau Harajuku with Batik karya seniman asal Bandung, Indonesia, Tiarma Sirait.

Tiarma adalah seorang pelaku seni di Indonesia yang berprestasi di tingkat internasional. Salah satu prestasinya yang terakhir adalah mewakili Indonesia dalam acara Olympic Fine Arts di Beijing, Agustus lalu. Tiarma juga pernah menjadi artis tamu dan melakukan pameran di berbagai museum di Fukuoka, UK, Swedia dan beberapa negara lainnya.

Dalam JAVARIZM nanti, Tiarma akan didukung oleh model-model profesional Jepang yang secara sukarela membantu kesuksesan penyelenggaraan acara ini. Keberadaan para model ini merupakan salah satu bentuk kerjasama yang diberikan oleh generasi muda Jepang.

Selain peragaan busana, JAVARIZM juga akan menghadirkan musisi Indonesia yaitu DJ Anton dan DJ Adit yang tergabung dalam kelompok "Agrikulture". Kelompok ini memiliki prestasi yang baik dan namanya sudah tercatat di dunia musik elektronik di Asia Tenggara.

JAVARIZM juga akan didukung oleh kehadiran seorang penyanyi Jepang, Miou Fujinaga yang akan menyumbangkan sebuah lagu berjenis folk/neo-traditional. Selain menyanyi, Miou sekaligus merangkap sebagai MC dan berpasangan dengan Iwet Ramadhan, MC dan penyiar radio kondang di Indonesia. Tidak ketinggalan, anggota ICJ sendiri, David John, pesulap kelahiran Jambi yang pernah menunjukkan kebolehannya di Las Vegas dan merupakan salah satu Magician Member dari Magic Castle - Hollywood ini, akan melengkapi acara dengan suguhan sulapnya.

Acara ini akan diadakan di Fifty Seven, Roppongi, Tokyo, Jepang, Sabtu, 29 November 2008, pukul 19.00 – 22.00 waktu setempat. Informasi lebih lanjut mengenai acara ini silahkan kunjungi http://icjnetwork.jp atau hubungi ICJ (Indonesian Community in Japan) di icjteam@googlegroups.com.

Batik Pekalongan Kurang Promosi Internasional

BANDUNG, SABTU - Batik pekalongan sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk dipasarkan, baik ke dalam negeri maupun diekspor. Namun, potensi tersebut terutama untuk luar negeri, belum dapat dimanfaatkan optimal karena batik pekalongan kurang dipromosikan.

Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Pekalongan, Slamet Prihantono di Bandung, Sabtu (29/11), mengatakan, pihaknya hanya mampu mengikutsertakan pengusaha batik dalam pameran internasional sekali setiap tahun.

Mereka yang dipilih adalah pelaku usaha kecil menengah (UKM). Masalahnya, promosi itu terkendala anggaran yang terbatas. Biaya mendaftarkan dua UKM dalam satu pameran sekitar Rp 150 juta. Slamet mengatakan, semakin sering pelaku UKM mengikuti pameran akan lebih baik.

Bila perlu, batik pekalongan promosi di luar negeri setiap bulan. Promosi yang pernah dilakukan di Malaysia tahun 2007 dan Singapura tahun 2006, katanya. Oleh karena itu, pemerintah pusat serta Provinsi Jawa Tengah diminta ikut mempromosikan batik pekalongan di luar negeri.

Batik Harajuku Pukau Muda-Mudi Jepang

TOKYO, Tepuk tangan riuh diiringi hentakan musik hip-hop menjadi saksi kemeriahan pagelaran busana batik bergaya Harajuku (busana kontemporer anak muda Jepang) yang dihadiri sekitar 200 kawula muda Jepang yang memadati sebuah klub malam di kawasan Roppongi, Tokyo, Sabtu malam.

Sebanyak 44 koleksi dari perancang busana Tiarma Sirait ditampilkan oleh belasan model cantik dan langsing asal Jepang, sebagai bagian dari acara peringatan 50 tahun hubungan persahabatan Indonesia - Jepang.

Setiap kali sejumlah model tampil di atas catwalk, decak kagum dan tatapan mata pengunjung tidak pernah lepas dari lenggak-lenggok gerakan para model yang malam itu mengenakan batik dengan warna yang mencolok mata berpadu dengan corak batik yang saling "bertabrakan".

"Heeee, sugoi (hebat, red)," begitu komentar seorang gadis muda Jepang usai menyaksikan pagelaran yang dihadiri juga oleh kalangan diplomat, wartawan dan juga sejumlah pebisnis muda Jepang.

"Saya memang sengaja membuat busana batik untuk kalangan anak muda Jepang, kalangan yang dengan mudah untuk tertarik dengan sesuatu yang baru," kata Tiarma Sirait kepada Antara usai pagelaran.

Tiarma yang baru saja mendapat penghargaan bergengsi dari Olympic Fine Art atas karya lukisnya itu begitu tertarik menggelar pameran busana batik yang menargetkan kaum muda Jepang. Begitu mendapat tawaran dari Javarism, panitia yang menggelar acara tersebut, ia langsung saja menyatakan setuju.

"Memperkenalkan Indonesia saat ini tentu memerlukan cara yang lebih kreatif. Batik bergaya Harajuku bisa menjadi awal perkenalan akan Indonesia dari cara yang bisa diterima kalangan muda Jepang," kata Tiarma yang juga memboyong sebanyak 200 karyanya untuk dijual pada malam itu.

Menurut dia batik memang sudah cukup dikenal di Jepang, tetapi belum menjadi suatu fashion pilihan, padahal potensi batik untuk menjadi busana dunia sangat luar biasa. Tokyo, sebagai salah satu bagian dari tren mode dunia merupakan tempat yang perlu terus dipilih sebagai ajang pagelaran batik agar memiliki gaung yang juga mendunia.

Sementara itu, Dubes Jusuf Anwar mengemukakan bahwa pagelaran "Harjutik" atau perpaduan gaya Harajuku dan batik merupakan keberanian anak muda Indonesia untuk menampilkan karya kreatifnya di luar negeri.

"Memperkenalkan Indonesia tidak selalu melalui acara-acara resmi, tetapi pagelaran seni busana juga bisa menjadi ajang diplomasi yang baik untuk mengenalkan Indonesia secara berbeda," kata mantan menteri keuangan itu.

ABD

Yuli Astuti, Demi Selembar Kapal Kandas

”Sudah biasa, saya pakai sepeda motor ke mana-mana. Saya harus sering pergi untuk sekadar belanja pewarna atau memenuhi jadwal belajar teknik membatik. Untuk itu saya bisa ke Solo, Yogyakarta, atau Semarang. Kadang kecapekan, tetapi setelah melihat hasil batik yang saya buat, semua rasa lelah hilang,” kata Yuli Astuti.

Perempuan berusia 28 tahun ini ditemui di rumahnya, di tengah sawah di Desa Karang Malang RT 04 RW 02 Nomor 11, Gebog, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, awal Agustus lalu. Saat itu Yuli baru kembali dari Yogyakarta yang berjarak sekitar 150 kilometer dari Kudus. Dia mengikuti pameran batik di Yogyakarta. Tidak tampak kelelahan di wajahnya, dia justru begitu bersemangat setelah mengeruk pengalaman dari kegiatan yang diikutinya.

Perempuan berkulit putih ini adalah salah seorang dari segelintir warga asli Kudus yang mempertahankan dan mengembangkan pola-pola batik lokal. Salah satu motif batik lokal yang tidak ditemui di daerah lain di Indonesia adalah motif kapal kandas, berbentuk kapal terbalik.

Menurut Yuli, orang-orang tua pembatik di Kudus masih sering menggunakan motif ini. Hanya saja, sejarah pasti tentang motif tersebut sulit sekali digali. Bahkan, tak hanya motif kapal kandas, tetapi selama dua tahun terakhir dia mencoba mencari runutan sejarah batik kudus.

Tidak hanya menelusurinya dari para tetua di kawasan Kota Kretek tersebut, Yuli juga meminta pendapat dari pengelola persatuan batik tulis di Semarang dan Yogyakarta, para kolektor batik, hingga para pembatik senior di kawasan pesisir di Tuban sampai Jakarta.

Selama bergerilya ke sana dan kemari mencari asal-usul batik kudus, Yuli harus merogoh saku paling sedikit Rp 60 juta untuk menebus batik tulis kudus kuno dari tangan kolektor.

”Data yang didapat dari berbagai cerita menunjukkan, motif kapal kandas diilhami dari kandasnya kapal China di kawasan ini, mungkin lebih dari 200 tahun lalu. Kapal bangsa China tersebut kandas dan penumpangnya yang selamat kemudian bermukim di lembah Gunung Muria atau Kudus. Batik kudus sama seperti batik di daerah pesisir lainnya, amat dipengaruhi budaya China,” kata Yuli.

Kapal kandas bukan pertanda kemalangan, tetapi justru era baru kehidupan dan kebudayaan di Kudus. Karena itu, motif kapal kandas terus diabadikan dalam lembaran-lembaran batik tulis membaur dengan motif lain yang menggambarkan potensi alam lembah Muria bertahun- tahun silam hingga kini.

Dalam lembaran-lembaran batik hasil karya Yuli, tergambar juga motif buah kopi, jahe-jahean, palijadi, patijotho (sejenis tanaman obat), ikan, dan motif- motif baru hasil kreasinya seperti menara kudus, salah satu ikon Kota Kudus. Motif buah kopi juga menjadi andalan selain kapal kandas karena menggambarkan produk unggulan Kudus yang banyak ditanam di lereng Gunung Muria.

Dari hasil kopi itu pula, tutur Yuli, Kudus menjadi kawasan yang diperhitungkan pada masa penjajahan Belanda. Memperkuat pendapat Yuli, dalam buku- buku sejarah Indonesia disebutkan, awal abad ke-19 saat pemerintahan Gubernur Jenderal Willem Daendels, hasil perkebunan kopi dari kawasan Gunung Muria diangkut melewati Jalan Raya Pos atau jalan lintas di pesisir pantai utara Jawa. Kopi menjadi komoditas yang menjanjikan di dunia perdagangan internasional kala itu.

Sampai era 1970-an, masih banyak perempuan membatik di desa-desa di sekitar Kota Kudus. Batik tulis dengan warna-warna alam dari buah pace, daun mangga muda, atau kunyit. Batik menjadi pakaian sehari-hari dan barang dagangan yang cukup laku di tingkat lokal atau antarkota pesisir di Jawa. Namun, industri lokal ini makin tergerus oleh serbuan batik printing dan batik cap dari Pekalongan. Di sisi lain, warga Kudus lebih tertarik menjadi buruh linting di pabrik rokok.

Sejak 1980-an praktis batik kudus tak lagi berkibar, ditinggalkan oleh masyarakat pembuat dan pemakainya. Kini yang tertinggal hanya pembatik sepuh yang berusia di atas 50 tahun. Itu pun jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Pelatihan membatik

Dua tahun lalu, Yuli yang berasal dari keluarga perajin bordir pakaian ditawari pelatihan membatik oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Rembang. Dari sekitar 10 orang yang dibina, hanya Yuli yang terus melaju. Dia tetap bersemangat membangkitkan kembali kejayaan batik kudus.

Ia mau belajar dari nol, mulai dari memilih kain yang tepat, menggambar motif, memakaikan lapisan malam, hingga pencelupan untuk pewarnaan. Ratusan lembar kain batik gagal masih teronggok di rumahnya sebagai pengingat kerasnya perjuangan. Namun, belakangan ini ratusan lembar batik tulis buatannya sudah diserap pasar. Pada setiap pameran, batik tulisnya seharga Rp 350.000-Rp 2 juta per lembar ludes diborong konsumen.

Bahkan, bersama komunitas batik tulis di Semarang, Yogyakarta, dan Tuban, Yuli sering mengikuti pameran batik tingkat nasional maupun internasional. Kegigihannya mengembangkan batik kudus membuat batik ini dilirik UNESCO dan sedang dalam proses penetapan resmi sebagai salah satu warisan sejarah dunia.

Di samping itu, Yuli juga merintis pelatihan membatik bagi warga desanya meskipun baru tiga dari 10 orang binaannya yang mahir membatik.

Meski untuk semua jerih payah itu tubuhnya menjadi makin kurus, berat badannya turun dari sekitar 60 kilogram menjadi 45 kg, Yuli justru merasa segar. Terlebih jerih payahnya semakin dihargai orang.

Batik tulis karyanya mulai diminati para perancang busana nasional. Batik hasil karya Yuli juga telah terdaftar dengan nama paten Muria Batik Kudus pada Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) dengan nomor registrasi D 002007030389.

Namun, perempuan yang masih melajang ini tetap gundah karena motif-motif asli batik kudus belum semua terungkap. Kekecewaan menerpa Yuli ketika mengetahui ada buku yang memuat motif-motif kuno batik kudus justru tersimpan di Belanda, sementara dia tak punya akses maupun uang untuk mendapatkannya kembali.

”Belakangan ini batik sedang tren sehingga langkah untuk memperkenalkan batik kudus terasa lebih mudah. Namun, suatu saat tren fashion pasti akan berubah. Supaya tidak kandas lagi, saya harus memperkuat batik kudus dengan penggalian sejarah dan pengayaan motif- motifnya. Ini yang selalu menjadi pekerjaan rumah saya,” kata Yuli.

Mempopulerkan Batik dengan Hitungan Matematika

Batik ternyata tidak melulu berkaitan dengan seni tradisional. Selama ini kita hanya mengenal batik tulis dan batik cap dengan proses pengerjaan murni buatan tangan.

Namun ternyata, dengan hitungan matematika motif batik dapat dibuat dengan mudah lewat komputer. Hasilnya, motif batik dapat dibuat dengan waktu relatif cepat, dan mudah diperbanyak. Tak hanya itu, selain bisa diaplikasikan di selembar kain, motif batik buatan komputer ini juga bisa diaplikasikan di media kayu dan akrilik.

Tiga serangkai asal Bandung , Muhammad Lukman, Nancy Margried Panjaitan, dan Yun Hariadi mencoba "memodernkan" batik. Setelah melalui penelitian yang panjang sejak tahun 2007, mereka pun meluncurkan batik fraktal, suatu batik dengan desain geometri yang terus berulang, [ada Mei silam di Bandung.

Menurut Head of Business Pixel People Project Research & Design Nancy Margried Panjaitan, semula mereka bertiga hanya teman ngobrol di sela-sela acara desain dan mode yang banyak digelar di Bandung. Akhirnya mereka bertiga membentuk kelompok kerja yang bernama Pixel People Project tahun 2007 lalu. Selain batik fraktal, mereka menghasilkan karya, seperti robot, desain gedung dan sebagainya. "Kami tak memiliki satu pemimpin dan tak memiliki kantor," tutur Nancy.

Mereka menganut konsep mobile office. Untuk mengerjakan sesuatu, mereka cukup mengkoordinasikan pekerjaan lewat alat komunikasi dan bertemu muka sesekali saja.

Ketika mendirikan usaha, mereka bertiga harus banyak bertaruh. Nancy dan Luki rela meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai karyawan dan berpindah menjadi pengusaha. Modal awal senilai Rp 20 juta berasal dari membobol tabungan masing-masing, sebagian besar dihabiskan untuk penelitian. Tak sampai satu tahun perusahaan bisa menutup modal usaha. Maklum, mereka membanderol produknya dengan harga tinggi, yakni antara Rp 500.000 dan Rp 20 juta per lembar kain batik.

Di tengah penelitian mereka tentang motif batik, mereka bertiga sempat diundang untuk mempresentasikan penemuannya dalam 10th Generative Art Conference, Politecnico, di Milan, Italia, Desember 2007 lalu.

Semenjak batik fraktal diluncurkan mereka mendapat dukungan dari Kementerian Riset dan Teknologi. Tiga serangkai ini kemudian ditawari untuk melakukan pameran, Mei 2008. Semua kegiatan selama pameran berlangsung disponsori oleh Kementerian Riset dan Teknologi

Karena usia abtik fraktal yang baru tiga bulan, Nancy mengatakan usaha ini masih dalam situasi yang menantang. Mereka kesulitan mencari investor untuk menanam modalnya dalam pemasaran dan pengembangan produk ini. Sejak tahun lalu, mereka telah mengajukan sejumlah proposal pendanaan tambahan ke sejumlah perusahaan.

Namun, konsep ini belum diapresiasi dengan baik oleh para pemodal. Alasan mereka, tutur Nancy, inovasi ini belum teruji sehingga terlalu beresiko untuk dibantu secara permodalan. "Menurut saya itulah resiko sebuah inovasi baru. Tapi kami terus mengembangkan karya kami dan terus mencari investor yang sesuai untuk usaha ini," kata Nancy.

Menristek pemakai batik fraktal pertama

Untuk memasarkan usaha batik fraktalnya, mereka melakukan bermacam jurus. Selain lewat pameran, penjualan juga dilakukan secara personal, made to order, pemesanan khusus, pemasaran lewat internet, dan bekerja sama dengan beberapa desainer dan butik fesyen yang ada di Jakarta. "Hingga saat ini, pembeli kain batik fraktal kebanyakan pemakai perorangan," tutur Nancy.

Bahkan, hingga kini Menteri Ristek Kusmayanto Kadiman merupakan salah satu pelanggan setia batik fraktal ini. Ungkap Nancy, "Menristek adalah orang pertama yang memakai kemeja batik fraktal di hadapan publik lho."

Kini, selain membatik di atas kain, mereka juga membatik di atas media kayu dan akrilik. Bedanya, jika biasanya mereka menggunakan canting untuk menggambar motif batik fraktal di atas kain, maka untuk media kayu dan akrilik ini mereka menggunakan laser.

"Rencananya, batik fraktal akan dikembangkan dalam industri interior, furnitur, sepatu dan berbagai industri lainnya," kata Nancy.