Batik Banyumasan Mulai Menghilang

SEBAGIAN besar warga masyarakat Banyumas mengenal Mruyung, Kecamatan Banyumas, sebagai pusat kerajinan batik. Padahal, sebenarnya daerah kelahiran batik tradisional banyumasan adalah Desa Sokaraja Kulon, Kecamatan Sokaraja.

Batik di Sokarja Kulon sudah ada pada zaman penjajahan Belanda. Batik itu dibuat dengan canting. Tak ada peralatan modern, termasuk bahan yang digunakan. Pewarnaan batik pun dilukis dengan canting. Adapun pewarna yang digunakan adalah bahan-bahan alami.

Kepala Desa Sokaraja Kulon, Chaerul Saleh, menuturkan untuk memperoleh warna hitam, misalnya, para perajin menggunakan daun tom atau nila. Untuk mendapatkan warna bagus butuh proses lama. Daun tomat diiris-iris lembut, kemudian diperas seperti membuat santan.

"Minimal butuh waktu tiga hari untuk mendapatkan warna dasar batik sokaraja. Itu juga untuk pewarnaan lain seperti kuning dan merah. Namun bahan alami yang digunakan berbeda dari warna hitam. Warna kuning dan merah diperoleh dari kulit pohon soga," katanya.

Untuk membuat sehelai batik, perajin membutuhkan waktu minimal tiga hari. Sehari untuk membuat sketsa lukisan, sehari melukis gambar, serta sehari untuk menjemur dan menghaluskan.

Penghalusan untuk menghilangkan jendholan akibat pewarnaan. Perajin menghaluskan jendholan cat dengan memukul-mukulkan palu ke kain batik yang diapit dengan dua bilah papan kayu yang rata. Kain batik terus dipukul sampai benar-benar rata.

"Meski lama dicuci, warna batik tak akan luntur. Jadi kualitasnya tidak kalah dari batik buatan pabrik," katanya.

Perajin batik di Sokaraja umumnya kaum ibu. Lelaki lebih banyak mengerjakan kerajinan lain, seperti membuat sendok kuningan.

Chaerul mengakui sekarang sedikit sekali yang menggeluti usaha batik. Bahkan bisa dihitung dengan jari. Jika dulu hampir sebagian besar warga menekuni kerajinan itu, kini tinggal empat kepala keluarga.

Kesulitan mencari bahan baku, terutama pewarna, manajemen pemasaran, harga yang relatif mahal, dan generasi penerus yang sedikit menjadi alasan kenapa kerajinan batik kini ditinggalkan.

Pewarna berbahan alami, misalnya, sekarang sulit ditemukan. Daun tom atau kulit pohon soga sudah jarang. Selain itu, pembuatan pewarna membutuhkan waktu lama.

Asal-asalan

Pemasaran batik tradisional secara asal-asalan juga memengaruhi pengenduran minat melestarikan usaha itu. Apalagi harga batik itu relatif mahal. Harga sehelai batik kuno antara Rp 200.000 dan Rp 300.000. Berbeda dari batik buatan pabrik yang hanya antara Rp 50.000 dan Rp 100.000.

"Regenerasi perajin pun mentok. Anak-anak muda enggan belajar membatik dengan canting. Akibatnya, kerajinan batik mulai menghilang karena tak ada yang meneruskan," ujarnya.

Perajin yang bertahan kini mengubah pola manajemen dan pembuatan batik. Sugito, salah satu perajin yang tersisa, menuturkan kini lebih banyak membuat batik cap. Dia cuma membuat batik tulis dengan canting jika ada pesanan. Membuat batik cap mudah, menghemat waktu, biaya rendah, dan di pasaran lebih diminati.

Peminat batik tulis kebanyakan orang yang menyukai seni. Mereka membeli batik tulis sebagai koleksi, untuk keperluan ritual, atau acara budaya.

Sugito mengakui sehari bisa memproduksi sekitar 50 helai batik siap pakai. Dia menawarkan harga relatif murah, antara Rp 48.000 dan Rp 50.000. Keuntungan dari setiap helai antara Rp 3.000 dan Rp 10.000. "Keuntungan itu hanya rata-rata. Terkadang lebih. Batik sokaraja sebenarnya tak kalah bagus dari buatan Pekalongan, Solo, atau Yogyakarta," ujar Ny Sugito. (Agus Wahyudi-86)

Tidak ada komentar: