Harris Riadi, dan Batik Warna Alami

Melawan arus. Itulah yang dilakukan Harris Riadi (46) dalam mengembangkan usahanya sebagai pengusaha batik di Kota Pekalongan, Jawa Tengah.

Di kota itu dilahirkan ribuan perajin batik baik tulis, cap, maupun cetak, namun sangat sulit ditemukan pengusaha batik yang menggunakan pewarna alami seperti yang dilakukan Harris. Sungai Loji, salah satu sungai yang membelah Kota Pekalongan, membuktikan betapa penggunaan pewarna kimia telah merusak lingkungan. Air sungai ini nyaris tak mengalir dan berwarna hitam pekat. Kebangkitan industri batik pada tahun 1980-an berakibat pula pada degradasi lingkungan.

"Saya tidak ingin menambah beban lingkungan. Oleh karena itu, saya memilih pewarna alami, bukan pewarna kimia," ujarnya. Pilihan itu juga menyiratkan bahwa batik adalah seni budaya yang tidak melulu memenuhi kemauan pasar.

Harris yang dilahirkan di Kota Pekalongan, tak asing dengan dunia batik tulis. Tetangganya kala itu kebanyakan bekerja sebagai pembatik. Demikian pula kakeknya, Hazim Mutaman yang sukses menjadi pedagang batik sekitar tahun 1950.

Ketertarikan pada seni batik dipertajam dengan mengenyam pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia pada tahun 1980. Namun, di tingkat II, Harris memutuskan untuk putus kuliah dan lebih memilih belajar batik kepada seniman-seniman.

Salah satu seniman idolanya adalah Amri Yahya, pelukis batik yang mengajarinya untuk menjadi diri sendiri. Sejak 1982 ia pun memutuskan untuk menggunakan bahan pewarna alami untuk mewarnai batik.

Bahan alami yang digunakan Harris sebagai pewarna mulai dari kulit kayu mahoni, jelawe, secang, tegeran, kayu nangka, hingga bahan jamu, pohon nila, dan daun tom.

Dasar seniman, Harris terus bereksperimen untuk menghasilkan warna-warna baru dari bahan lainnya. Bahan pewarna yang baru itu berasal antara lain dari kotoran sapi dan sabut kelapa. Kedua bahan ini dipilih karena ia ingin mendayagunakan sampah.

Harris mengatakan, kain batik buatannya ini lebih diminati oleh kalangan wisatawan mancanegara. Sejumlah pemandu wisata kerap membawa mereka ke rumah Harris yang berada di kawasan Krapyak Lor, Pekalongan Utara, melihat proses pembuatan batik dengan pewarna alami secara langsung. (L Andreas Sarwono)

Jamu-Jamuan Bisa Jadi Pewarna Batik

Suara Merdeka
Pekalongan, CyberNews. Biasanya, tanaman apotik hidup seperti temu lawak, temu giring, dan jelawe dikonsumsi manusia sebagai jamu. Jika meminum ramuan tersebut, kondisi badan yang lemas menjadi segar. Demikian juga ketika tubuh kita masuk angin, kalau minum jamu bisa menjadi sehat kembali.

Tapi bagi Harris Riadi, semua bahan baku itu tidak dipakai untuk membuat jamu, melainkan bahan pewarna batik. Ya, tidak mengherankan apabila Harris melakukan hal tersebut. Sebagai seorang seniman dan juga pelukis batik, mantan mahasiswa ASRI itu selalu membuat inovasi baru tentang perbatikan, khususnya mengenai pewarnaan batik.

''Saya kira, benda yang ada di alam ini tidak akan habis dijadikan bahan pewarna batik,'' tandas dia kepada sejumlah wartawan. Laki-laki berkumis cukup tebal itu menandaskan, dalam membuat bahan pewarna dari jamu tidak terlalu sulit. Temui ireng, temu lawak dan jelawe dimasak selama lebih kurang 30 menit. Setelah mendidih, air dari bahan tersebut disaring dan didinginkan. ''Saya menunggu air dingin agar lilin yang digunakan untuk membatik tidak rusak,'' jelas Harris.

Dari saringan itu akan diperoleh hasil air dengan warna alami. Selanjutnya, pakaian yang sudah dibatik dimasukkan ke dalam campuran air itu dan direndam cukup lama. Setelah itu, akan terlihat hasilnya, yakni pakaian batik dengan warna yang sangat klasik. ''Kalau tidak percaya, lihat kain batik yang saya bawa sekarang,'' ujar dia sambil menunjukkan batik dengan warna jamu.

Harris menjelaskan, keistimewaan pakaian batik dengan warna jamu adalah jika dipakai bisa membuat tubuh menjadi hangat. Menurut dia, hangatnya tubuh itu karena sari-sari bahan jamu yang melekat pada pakaian bereaksi ketika dipakai seseorang. Dia bisa mengatakan seperti itu karena pernah mencobanya dan merasakan hangatnya kain dengan warna alami dari gabungan bahan baku tanaman apotik hidup.

Teman satu angkatan seniman Butet Kartaredjasa itu menambahkan, karyanya tersebut merupakan gebrakan terbarunya di awal tahun 2007. Ke depan, kata dia, ada ide untuk menambah karya-karyanya dalam meramaikan dunia perbatikan di Kota Pekalongan. Tapi ayah satu putra itu enggan menyebutkan bentuk karyanya tersebut.

Sebelumnya, pada pertengahan tahun lalu, Harris telah membuat batik warna alami dari sejumlah benda. Antara lain, serabut kelapa, kotoran sapi, dan bahan alami lainnya. Menurut dia, semua inovasinya tersebut dilakukan sendiri, baik pengolahan maupun pembiayaannya. ''Sebagai seorang seniman, saya ingin bebas berkarya dalam mengembangkan perbatikan di kota ini, meskipun untungnya sedikit,'' kata dia.


Harris Riadi, dan Sabut Kelapa

Melawan arus. Itulah yang dilakukan Harris Riadi (46) dalam mengembangkan usahanya sebagai pengusaha batik di Kota Pekalongan, Jawa Tengah.

Di kota itu dilahirkan ribuan perajin batik baik tulis, cap, maupun cetak, namun sangat sulit ditemukan pengusaha batik yang menggunakan pewarna alami seperti yang dilakukan Harris. Sungai Loji, salah satu sungai yang membelah Kota Pekalongan, membuktikan betapa penggunaan pewarna kimia telah merusak lingkungan. Air sungai ini nyaris tak mengalir dan berwarna hitam pekat. Kebangkitan industri batik pada tahun 1980-an berakibat pula pada degradasi lingkungan.

"Saya tidak ingin menambah beban lingkungan. Oleh karena itu, saya memilih pewarna alami, bukan pewarna kimia," ujarnya. Pilihan itu juga menyiratkan bahwa batik adalah seni budaya yang tidak melulu memenuhi kemauan pasar.

Harris yang dilahirkan di Kota Pekalongan, tak asing dengan dunia batik tulis. Tetangganya kala itu kebanyakan bekerja sebagai pembatik. Demikian pula kakeknya, Hazim Mutaman yang sukses menjadi pedagang batik sekitar tahun 1950.

Ketertarikan pada seni batik dipertajam dengan mengenyam pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia pada tahun 1980. Namun, di tingkat II, Harris memutuskan untuk putus kuliah dan lebih memilih belajar batik kepada seniman-seniman.

Salah satu seniman idolanya adalah Amri Yahya, pelukis batik yang mengajarinya untuk menjadi diri sendiri. Sejak 1982 ia pun memutuskan untuk menggunakan bahan pewarna alami untuk mewarnai batik.

Bahan alami yang digunakan Harris sebagai pewarna mulai dari kulit kayu mahoni, jelawe, secang, tegeran, kayu nangka, hingga bahan jamu, pohon nila, dan daun tom.

Dasar seniman, Harris terus bereksperimen untuk menghasilkan warna-warna baru dari bahan lainnya. Bahan pewarna yang baru itu berasal antara lain dari kotoran sapi dan sabut kelapa. Kedua bahan ini dipilih karena ia ingin mendayagunakan sampah.

Harris mengatakan, kain batik buatannya ini lebih diminati oleh kalangan wisatawan mancanegara. Sejumlah pemandu wisata kerap membawa mereka ke rumah Harris yang berada di kawasan Krapyak Lor, Pekalongan Utara, melihat proses pembuatan batik dengan pewarna alami secara langsung. (L Andreas Sarwono)

Akar Tumbuhan Bisa Menjadi Pewarna Kain Batik

Haris Riadi, seniman batik Desa Pekajangan, Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah, kembali menemukan terobosan baru di dunia batik, belum lama ini. Ia mengolah berbagai tumbuhan dan akar seperti temulawak, akar mengkudu, kayu manis, dan jelawe menjadi zat pewarna batik. Selama ini tetumbuhan tersebut dikenal sebagai bahan baku pembuat jamu.

Haris menjelaskan selain wangi, zat pewarna batik dari tumbuhan dan akar diyakini mampu memberi rasa hangat pada pemakai batik. Selain itu, harga bahan-bahan alami ini juga jauh lebih murah dibanding zat-zat pewarna kimia yang selama ini digunakan para pembatik umumnya. Yang lebih penting lagi, kata Haris, limbah dari pewarna alami aman dan tidak merusak lingkungan.

Haris mengatakan, untuk menghasilkan warna-warna alami, tumbuhan serta akar-akaran terlebih dulu direbus hingga mendidih. Agar bisa menghasilkan warna kecoklatan, diperlukan kombinasi kayu manis, akar mengkudu, dan jelawe.

Haris berharap dengan penemuan bahan pewarna alami ini, pencemaran lingkungan akibat limbah batik bisa dikurangi. Apalagi selain mudah didapat, karya batik dari warna alami itu juga memiliki harga jual yang relatif lebih mahal dibanding batik pewarna kimia.(MAK/Budi

Tidak ada komentar: